PPKN-KEMERDEKAAN BERAGAMA DAN BERKEPERCAYAAN DI INDONESIA-PERTEMUAN 7
A. Seputar Mengenai Agama
Agama
di dunia jumlahnya ada banyak sekali. Sedangkan di Indonesia ada 6 agama yang
diakui secara resmi yaitu Katolik, Kristen Protestan, Islam, Hindhu, Buddha,
Khonghucu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) pengertian atau definisi agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan
(kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah
yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Istilah agama sendiri adalah suatu istilah yang berasal dari bahasa Sanskerta
“āgama” yang memiliki arti “tradisi”.
Istilah
asing lainnya yang mempunyai pengertian sama dengan agama adalah religi yang
berasal dari bahasa latin “religio” dan berakar pada kata kerja “re-ligare”
yang memiliki arti “mengikat kembali”. Mengikat di sini maksudnya yaitu dengan
ber-religi maka seseorang akan mengikat dirinya kepada tuhan. Di
Indonesia ini, mayoritas penduduknya memeluk agama Islam dengan total
pemeluknya mencapai 87,18% dari seluruh total populasi penduduk Indonesia.
Kemudian kristen protestan sebanyak 6,96%, katolik sebanyak 2,9%; hindu
sebanyak 1,69%; buddha sebanyak 0,72%; dan Khonghucu sebanyak 0,05%;. Data
tersebut diperoleh berdasar hasil sensus tahun 2010. Bisa saja saat ini
jumlahnya telah mengalami sedikit perubahan.
Adapun pengertian agama menurut para ahli :
a.
Menurut Émile Durkheim definisi Agama adalah suatu sistem yang terpadu yang
terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci dan
menyatukan semua penganutnya dalamsuatu komunitas moral yang di namakan umat.
b. Menurut
prof Dr.m. Drikarya definisi Agama adalah kenyakinan adanya suatu kekuatan
supranatural yang mengatur danmenciptakan alam dan isinya.
c.
Menurut H. Moenawar Chalil definisi Agama adalah perlibatan yang merupakan
tingkah laku manusia dalam berhubungan dengan kekuatan supranatural tersebut
sebagai konsekuensi atas pengakuannya.
d.
Menurut Hendro Puspito definisi Agama adalah sistem nilai yang mengatur
hubungan manusia dan alam semesta yang berkaitan dengan keyakinan.
e.
Menurut Jappy Pellokild definisi Agama adalah percaya adanya tuhan yang maha
esa dan hukum-hukumnya.
B. Definisi Kepercayaan
Kepercayaan adalah
kemauan seseorang untuk bertumpu pada orang lain dimana kita memiliki keyakinan
padanya. Kepercayaan merupakan kondisi mental yang didasarkan oleh situasi
seseorang dan konteks sosialnya. Ketika seseorang mengambil suatu keputusan, ia
akan lebih memilih keputusan berdasarkan pilihan dari orang- orang yang lebih
dapat ia percaya dari pada yang kurang dipercayai (Moorman, 1993).
Menurut Rousseau et
al (1998), kepercayaan adalah wilayah psikologis yang merupakan perhatian untuk
menerima apa adanya berdasarkan harapan terhadap perilaku yang baik dari orang
lain. Kepercayaan konsumen didefinisikan sebagai kesediaan satu pihak untuk
menerima resiko dari tindakan pihak lain berdasarkan harapan bahwa pihak lain
akan melakukan tindakan penting untuk pihak yang mempercayainya, terlepas dari
kemampuan untuk mengawasi dan mengendalikan tindakan pihak yang dipercaya
(Mayer et al, 1995).
Menurut Ba dan Pavlou
(2002) mendefinisikan kepercayaan sebagai penilaian hubungan seseorang dengan
orang lain yang akan melakukan transaksi tertentu sesuai dengan harapan dalam
sebuah lingkungan yang penuh ketidakpastian. Universitas Sumatera Utara Kepercayaan
terjadi ketika seseorang yakin dengan reliabilitas dan integritas dari orang
yang dipercaya (Morgan & Hunt, 1994). Doney dan Canon (1997) bahwa
penciptaan awal hubungan mitra dengan pelanggan didasarkan atas kepercayaan.
Hal yang senada juga
dikemukakan oleh McKnight, Kacmar, dan Choudry (dalam Bachmann & Zaheer,
2006), menyatakan bahwa kepercayaan dibangun sebelum pihak-pihak tertentu
saling mengenal satu sama lain melalui interaksi atau transaksi. Kepercayaan
secara online mengacu pada kepercayaan dalam lingkungan virtual. Menurut
Rosseau, Sitkin, dan Camere (1998), definisi kepercayaan dalam berbagai konteks
yaitu kesediaan seseorang untuk menerima resiko.
Diadaptasi dari
definisi tersebut, Lim et al (2001) menyatakan kepercayaan konsumen dalam
berbelanja internet sebagai kesediaan konsumen untuk mengekspos dirinya
terhadap kemungkinan rugi yang dialami selama transaksi berbelanja melalui
internet, didasarkan harapan bahwa penjual menjanjikan transaksi yang akan
memuaskan konsumen dan mampu untuk mengirim barang atau jasa yang telah
dijanjikan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kepercayaan konsumen adalah
kesediaan satu pihak menerima resiko dari pihak lain berdasarkan keyakinan dan
harapan bahwa pihak lain akan melakukan tindakan sesuai yang diharapkan,
meskipun kedua belah pihak belum mengenal satu sama lain.
C.
Ciri – Ciri Kemerdekaan Beragama dan
Berkepercayaan
Ciri
– ciri kemerdekaan beragama dan berkepercayaan begitu banyak contoh sikapnya.
Diantara contoh sikapnya adalah :
1. Kebebasan memeluk agama, yaitu setiap orang
bebas memeluk agamanya masing - masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu
2. Negara
menjamin kemerdekaan warganya untuk bribadah, yaitu negara menjamin kemerdekaan
setiap orang memeluk agamanya masing - masing, dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.
3. Kebebasan
untuk menetapkan agama atas pilihan sendiri, yaitu setiap orang berhak atas
kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama.
4. Tanpa paksaan
dalam menganut agama / kepercayaan, yaitu tidak seorang pun dapat dipaksa
sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau
kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.
5. Hanya
ketentuan hukum yang bisa membatasi seseorang dalam menentukan agama /
kepercayaan, yaitu kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan
seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum.
6. Pendidikan
agama harus sesuai dengan keyakinan masing-masing individu Negara. Pihak dalam
Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua dan apabila diakui,
wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi
anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri
D. Dasar Hukum Yang
Mengatur Tentang Beragama dan Berkepercayaan
Dasar hukum yang
menjamin kebebasan beragama di Indonesia ada pada konstitusi kita, yaitu Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun
1945 (“UUD 1945”) :
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan,
memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak
kembali.”
Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan
bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu
dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945juga
diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga
menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk
memeluk agama. Akan tetapi, hak asasi tersebut bukannya tanpa pembatasan.
Dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 diatur
bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 selanjutnya
mengatur bahwa pelaksanaan hak tersebut wajib tunduk pada pembatasan-pembatasan
dalam undang-undang.
Jadi, hak asasi
manusia tersebut dalam pelaksanaannya tetap patuh pada pembatasan-pembatasan
yang diatur dalam undang-undang. Lukman
Hakim Saifuddin dan Patrialis
Akbar, selaku mantan anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR,
dalam persidangan di Mahkamah Konstitusipernah menceritakan
kronologis dimasukkannya 10 pasal baru yang mengatur tentang HAM dalam
amandemen kedua UUD 1945, termasuk di antaranya pasal-pasal yang kami sebutkan
di atas. Menurut keduanya, ketentuan-ketentuan soal HAM dari Pasal 28A
sampai 28I UUD 1945 telah dibatasi atau “dikunci” oleh Pasal 28J UUD 1945.
1. Bagaimana Keadaan Penduduk
Indonesia Dalam Beragama dan Berkepercayaan Di Indonesia?
Beragama
adalah menjadikan suatu ajaran agama sebagai jalan dan pedoman hidup
berdasarkan keyakinan bahwa jalan tersebut adalah jalan yang benar. Karena bersumber
dari keyakinan diri, maka yang paling menentukan keberagamaan seseorang adalah
hati nurani. Oleh karena itu agama adalah urusan paling pribadi. Apakah
seseorang meyakini dan menjalankan ajaran suatu agama atau tidak, ditentukan
oleh keyakinan dan motivasi pribadi dan konsekuensinya pun ditanggung secara
pribadi.
Keberagamaan
seseorang menjadi tidak bermakna sama sekali jika dilakukan tanpa keyakinan dan
semata-mata ditentukan oleh faktor di luar diri sendiri. Islam secara tegas
dinyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Beragama dengan keterpaksaan
adalah sebuah kemunafikan.
Oleh karena itu beragama adalah hak asasi manusia yang masuk dalam kategori hak dasar yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun. Konsekuensinya, siapapun harus menghormati, menghargai, dan tidak melanggar hak orang lain dalam beragama.
Oleh karena itu beragama adalah hak asasi manusia yang masuk dalam kategori hak dasar yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun. Konsekuensinya, siapapun harus menghormati, menghargai, dan tidak melanggar hak orang lain dalam beragama.
Bahkan
negara tidak memiliki otoritas untuk menentukan mana agama yang benar dan mana
agama yang salah. Keyakinan saya bahwa agama Islam adalah agama yang benar dan
diridloi Allah SWT bukan karena Islam diakui sebagai agama yang “sah” oleh
negara. Sebaliknya, saya tidak memilih agama yang lain juga bukan karena agama
tersebut tidak diakui secara “sah” oleh negara.
Sebaliknya, tujuan pembentukan negara adalah untuk melindungi hak warga negara dan memenuhi kepentingan seluruh rakyatnya. Dalam konteks ke-Indonesia-an, salah satu tujuan nasional adalah melindungi segenap bangsa Indonesia, tentu saja tanpa diskriminasi baik berdasarkan suku, bahasa, maupun agama. Oleh karena itu, menjadi salah satu tugas negara untuk melindungi hak kebebasan setiap orang dalam beragama dan beribadat.
Beragama
secara mendasar adalah wilayah pribadi setiap insan manusia, karena yang paling
esensi dalam beragama adalah keyakinan dan kepercayaan individual. Namun
demikian, karena agama tidak hanya mengajarkan kehidupan pribadi manusia dengan
Tuhan, tetapi juga mengatur kehidupan bermasyarakat, agama juga menjadi wilayah
masyarakat. Apalagi, jika agama tersebut telah berkembang luas dan menjadi
salah satu identitas yang menonjol dari suatu masyarakat.
Konsekuensi
perkembangan agama sebagai identitas dan wilayah kemasyarakatan adalah
munculnya peran masyarakat mayoritas yang menentukan keberagamaan seseorang,
serta justifikasi sosial apakah aliran agama tertentu benar atau salah, paling
tidak dapat diterima atau tidak. Peran tersebut bagaimanapun juga telah
mengurangi hakikat agama sebagai hak asasi yang mendasar berdasarkan keyakinan
dan kepercayaan individual.
Hal itu tidak dapat dihindari karena masyarakat membutuhkan kepastian dan pegangan dalam beragama. Bagi masyarakat awam, adalah tugas para pemimpin agama untuk memberikan kepastian tentang keberagamaan yang dipandang benar diantara berbagai aliran yang ada.
Hal itu tidak dapat dihindari karena masyarakat membutuhkan kepastian dan pegangan dalam beragama. Bagi masyarakat awam, adalah tugas para pemimpin agama untuk memberikan kepastian tentang keberagamaan yang dipandang benar diantara berbagai aliran yang ada.
Namun
tentu juga merupakan tugas para pemimpin agama untuk senantiasa memberikan
pemahaman bahwa tidak ada paksaan dalam agama, membangun ukhuwah dalam
keberagaman. Oleh karena itu, adanya kekerasan terhadap kelompok aliran agama
minoritas juga menjadi tanggungjawab para pemuka agama. Mengingat kebebasan
beragama adalah bagian dari hak asasi, dan negara memiliki tanggungjawab untuk
memberikan perlindungan, penghormatan, dan pemajuan hak asasi, maka dalam hal
tertentu kehidupan beragama juga menjadi wilayah negara. Pada posisi inilah
harus terdapat pembeda yang dapat dijadikan pegangan sehingga peran negara
tidak terlalu jauh memasuki urusan individu, serta tidak pula memasuki ranah
masyarakat. Jika negara telah memasuki urusan individu, maka hakikat beragama
sebagai wujud keyakinan hati nurani dan kepercayaan individual akan hilang.
Persoalan
apakah agama atau aliran tersebut akan diterima oleh masyarakat dan berkembang
atau tidak, itu adalah wilayah masyarakat. Negara tidak dapat menentukan mana
agama yang benar dan mana agama yang salah. Negara juga tidak dapat menentukan
cara beribadah mana yang benar dan mana yang salah. Konsekuensinya, negara
tidak dapat melarang cara beribadah tertentu walaupun oleh mayoritas masyarakat
hal itu dipandang menyimpang. Hingga saat inipun tidak ada larangan hukum
terhadap cara ibadat tertentu, walaupun terhadap suatu aliran yang dinyatakan
menyimpang.
Jika negara memasuki wilayah pribadi, maka negara telah membatasi hak kebebasan beragama dan beribadat.
Jika negara memasuki wilayah pribadi, maka negara telah membatasi hak kebebasan beragama dan beribadat.
Di
sisi lain, keberagamaan dan ibadah yang dilakukan berdasarkan paksaan akan
menghilangkan makna keberagamaan seseorang karena dilakukan tanpa keyakinan dan
kepercayaan, tetapi karena paksaan semata. Jika berharap terjadi perubahan,
maka biarlah perubahan tersebut juga didasari oleh perubahan keyakinan.
Perubahan keyakinan hanya dapat dilakukan melalui proses dialog dan penyadaran
yang menjadi wilayah masyarakat, bukan oleh paksaan negara. Oleh karena itu,
sikap yang menyatakan suatu agama atau aliran tersebut menyimpang atau tidak,
termasuk cara beribadahnya adalah wilayah masyarakat. Negara baru dapat masuk
wilayah agama dalam dua kondisi. Pertama, jika agama atau aliran yang dipandang
menyimpang tersebut bertentangan dengan dasar-dasar perikemanusiaan dan
kemasyarakatan.
Intervensi
negara tersebut sah adanya karena pada prinsipnya setiap agama mengajarkan
penghargaan dan penghormatan terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan dan
kemasyarakatan. Jika suatu agama atau aliran menghalalkan pembunuhan,
pencurian, memutus hubungan kekeluargaan, maka negara harus bertindak. Tindakan
negara tersebut tidak hanya terhadap tindakan-tindakan berdasarkan ajaran agama
yang merupakan tindak pidana, tetapi juga dapat melarang perkembangan agama
tersebut.
Pelarangan
itu memiliki legitimasi karena agama atau aliran agama dimaksud nyata-nyata
bertentangan dengan hakikat ajaran agama dan merugikan kemanusiaan dan
kemasyarakatan. Kondisi kedua di mana dibutuhkan peran negara adalah pada saat
masyarakat, atau sekelompok orang melakukan tindakan yang melanggar hak
kebebasan beragama orang lain, padahal keyakinan dan kepercayaan orang yang
dilanggar itu tidak bertentangan dengan prinsip kemanusiaan dan kemasyarakatan.
Masyarakat
atau organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, atau bahkan MUI memiliki
hak untuk menentukan suatu aliran tertentu masih dapat diakui sebagai Islam
atau tidak. Penentuan itupun tentu dilakukan melalui mekanisme pengkajian dan
pengambilan keputusan yang diatur oleh masing-masing organisasi. Namun dalam
kehidupan tertib bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tentu
organisasi-organisasi tersebut dan masyarakat secara umum tidak dapat melakukan
kekerasan terhadap aliran yang dipandang tidak sesuai lagi dengan pinsip ajaran
Islam.
Sebaliknya,
organisasi-organisasi itu tentu memiliki kewajiban untuk mencegah terjadinya
kekerasan. Oleh karena itu setiap fatwa harus diikuti dengan “petunjuk” bagaimana
menyikapi fatwa tersebut sebagai bentuk pertanggungjawaban agar tidak terjadi
kekerasan dan paksaan terhadap minoritas. Kekerasan dan paksaan itu tidak saja
bertentangan dengan hukum negara, tetapi juga bertentangan dengan hukum agama.
2. Bagaimana Membangun
Kerukunan Umat Dalam Beragama dan Berkepercayaan Di Indonesia?
Kerukunan umat
beragama yaitu hubungan sesama umat beragama yang dilandasi dengan toleransi,
saling pengertian, saling menghormati, saling menghargai dalam kesetaraan
pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan masyarakat dan
bernegara. Umat beragama dan pemerintah harus melakukan upaya bersama dalam
memelihara kerukunan umat beragama, di bidang pelayanan, pengaturan dan
pemberdayaan. Sebagai contoh yaitu dalam mendirikan rumah ibadah harus
memperhatikan pertimbangan Ormas keagamaan yang berbadan hukum dan telah
terdaftar di pemerintah daerah.
Pemeliharaan
kerukunan umat beragama baik di tingkat Daerah, Provinsi, maupun Negara pusat
merupakan kewajiban seluruh warga Negara beserta instansi pemerinth lainnya.
Lingkup ketentraman dan ketertiban termasuk memfalisitasi terwujudnya kerukunan
umat beragama, mengkoordinasi kegiatan instensi vertical, menumbuh kembangkan
keharmonisan saling pengertian, saling menghormati, saling percaya diantara
umat beragama, bahkan menerbitkan rumah ibadah.
Sesuai dengan tingkatannya Forum Krukunan Umat Beragama dibentuk di Provinsi dan Kabupaten.
Sesuai dengan tingkatannya Forum Krukunan Umat Beragama dibentuk di Provinsi dan Kabupaten.
1.
Saling tenggang rasa, saling menghargai, toleransi antar umat beragama
2.
Tidak memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu
3.
Melaksanakan ibadah sesuai agamanya, dan
4.
Mematuhi peraturan keagamaan baik dalam Agamanya maupun peraturan Negara atau
Pemerintah.
Dengan demikian akan
dapat tercipta keamanan dan ketertiban antar umat beragama, ketentraman dan
kenyamanan di lingkungan masyarakat berbangsa dan bernegara. Kerukunan umat beragama adalah suatu bentuk
sosialisasi yang damai dan tercipta berkat adanya toleransi agama. Toleransi
agama adalah suatu sikap saling pengertian dan menghargai tanpa adanya
diskriminasi dalam hal apapun, khususnya dalam masalah agama.
Kerukunan umat beragama adalah hal yang sangat penting untuk mencapai
sebuah kesejahteraan hidup di negeri ini. Seperti yang kita ketahui, Indonesia
memiliki keragaman yang begitu banyak. Tak hanya masalah adat
istiadat atau budaya seni, tapi juga termasuk agama. Walau mayoritas
penduduk Indonesia memeluk agama Islam, ada beberapa agama lain yang juga dianut
penduduk ini.
Kristen, Khatolik, Hindu, Budha dan Konghucu adalah contoh agama yang
juga banyak dipeluk oleh warga Indonesia. Setiap agama tentu punya aturan
masing-masing dalam beribadah. Namun perbedaan ini bukanlah alasan untuk
berpecah belah. Sebagai satu saudara dalam tanah air yang sama, kita harus
menjaga kerukunan umat beragama di Indonesia untuk bersama-sama membangun
negara ini menjadi yang lebih baik.
Adapun konsep tri kerukunan
umat beragama di Indonesia, yaitu :
- Kerukunan intern umat beragama, yaitu suatu bentuk kerukunan yang terjalin antar masyarakat penganut satu agama. Misalnya, kerukunan sesama orang Islam atau kerukunan sesama penganut Kristen.
- Kerukunan antar umat beragama , yaitu suatu bentuk kerukunan yang terjalin antar masyarakat yang memeluk agama berbeda-beda. Misalnya, kerukunan antar umat Islam dan Kristen, antara pemeluk agama Kristen dan Budha, atau kerukunan yang dilakukan oleh semua agama.
- Kerukunan umat beragama dengan pemerintah, yaitu bentuk kerukunan semua umat-umat beragama menjalin hubungan yang yang harmoni dengan Negara/ pemerintah. Misalnya tunduk dan patuh terhadap aturan dan perundang-undangan yang berlaku. Pemerintah ikut andil dalam menciptakan suasana tentram, termasuk kerukunan umar beragama dengan pemerintah itu sendiri. Semua umat beragama yang diwakili oleh tokoh-tokon agama dapat sinergi dengan pemerintah. Bekerjasama dan bermitra dengan pemerintah untuk menciptakan stabilitas persatuan dan kesatuan bangsa.
Seluruh peraturan pemerintah yang membahas kerukunan hidup umat
beragama, harus mencakup empat pokok masalah, yaitu sebagai berikut.
- Pendirian Rumah Ibadah
- Penyiaran agama
- Bantuan keagamaan dari luar negeri
- Tenaga asing bidang keagamaan
3.
Bagaimana Sikap Toleransi Masyarakat Terhadap Keberagaman Agama dan Kepercayaan
Di Indonesia?
Semua
manusia pada dasarnya sama. Membeda-bedakan perlakuan terhadap sesama manusia
karena warna kulit atau bentuk fisik lainnya adalah sebuah kesalahan. Tuhan
menciptakan manusia berbeda dan beragam. Perbedaan itu adalah anugerah yang
harus kita syukuri. Mengapa kita harus bersyukur dengan keragaman itu? Dengan
keragaman, kita menjadi bangsa yang besar dan arif dalam bertindak. Agar
keberagaman bangsa Indonesia juga menjadi sebuah kekuatan, kita bangun
keberagaman bangsa Indonesia dengan dilandasi persatuan dan kesatuan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Persatuan
dan kesatuan di sebuah negara yang beragam dapat diciptakan salah satunya
dengan perilaku masyarakat yang menghormati keberagaman bangsa dalam wujud
perilaku toleran terhadap keberagaman tersebut. Sikap toleransi berarti menahan
diri, bersikap sabar, membiarkan orang berpendapat lain, dan berhati lapang
terhadap orang-orang yang memiliki pendapat berbeda.
Toleransi
sejati didasarkan sikap hormat terhadap martabat manusia, hati nurani, dan
keyakinan, serta keikhlasan sesama apa pun agama, suku, golongan, ideologi atau
pandangannya. Perhatikan dan bacalah penjelasan perilaku toleran terhadap
keberagaman agama, suku, ras, budaya, dan gender di bawah ini.
1.
Perilaku Toleran dalam Kehidupan
Beragama
Jaminan negara terhadap warga negara
untuk memeluk dan beribadah diatur dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat (2). Bunyi
lengkap Pasal 29 ayat (2) adalah “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu”.
Dalam kehidupan berbangsa, seperti kita
ketahui keberagaman dalam agama itu benar-benar terjadi. Agama tidak
mengajarkan untuk memaksakan keyakinan kita kepada orang lain. Oleh karena itu,
bentuk perilaku kehidupan dalam keberagaman agama di antaranya diwujudkan dalam
bentuk:
a.
menghormati agama yang diyakini oleh orang lain;
b.
tidak memaksakan keyakinan agama kita kepada orang yang berbeda agama;
c.
bersikap toleran terhadap keyakinan dan ibadah yang dilaksanakan oleh yang
memiliki keyakinan dan agama yang berbeda
d.
melaksanakan ajaran agama dengan baik; serta
e.
tidak memandang rendah dan tidak menyalahkan agama yang berbeda dan dianut oleh
orang lain.
f.
Perilaku baik dalam kehidupan beragama tersebut sebaiknya kita laksanakan, baik
dikeluarganya, sekolah, masyarakat maupun dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
2. Perilaku Toleran Terhadap Keberagaman Suku
dan Ras di Indonesia
Perbedaan suku dan
ras antara manusia yang satu dengan manusia yang lain hendaknya tidak menjadi
kendala dalam membangun persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia maupun dalam
pergaulan dunia. Kita harus menghormati harkat dan martabat manusia yang lain.
Marilah kita mengembangkan semangat persaudaraan dengan sesama manusia dengan
menjunjung nilai-nilai kemanusiaan.
Perbedaan kita dengan
orang lain tidak berarti bahwa orang lain lebih baik dari kita atau kita lebih
baik dari orang lain. Baik dan buruknya penilaian orang lain kepada kita bukan
karena warna, rupa, dan bentuk, melainkan karena baik dan buruknya kita dalam
berperilaku. Oleh karena itu, sebaiknya kita berperilaku baik kepada semua
orang tanpa memandang berbagai perbedaan tersebut.
3. Perilaku Toleran
Terhadap Keberagaman Sosial Budaya
Kehidupan
sosial dan keberagaman kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia tentu menjadi
kekayaan bangsa Indonesia. Kita tentu harus bersemangat untuk memelihara dan
menjaga kebudayaan bangsa Indonesia. Siapa lagi yang akan mempertahankan budaya
bangsa jika bukan kita sendiri. Bagi seorang pelajar perilaku dan semangat
kebangsaan dalam mempertahankan keberagaman budaya bangsa di antaranya dapat
dilaksanakan dengan:
- mengetahui keanekaragaman budaya yang dimiliki bangsa Indonesia.
- mempelajari dan menguasai salah satu seni budaya sesuai dengan minat dan kesenangannya;
- merasa bangga terhadap budaya bangsa sendiri; dan
- menyaring budaya asing yang masuk ke dalam bangsa Indonesia.
4.
Kesadaran Gender
Tuhan
menciptakan manusia dalam dua jenis, yaitu laki-laki dan perempuan. Laki-laki
dan perempuan pada dasarnya sama. Hubungan sosial antara laki-laki dan
perempuan itulah yang dinamakan dengan jenis kelamin. Jadi, jenis kelamin
merujuk pada hubungan antara laki-laki dan perempuan, anak laki-laki dan anak
perempuan, dan bagaimana hubungan tersebut dilihat berdasarkan sifat kodrat.
Pengertian
gender tidak didasarkan pada sifat kodrat manusia. Gender adalah konsep
hubungan sosial yang membedakan kedudukan, fungsi, dan peran antara laki-laki
dan perempuan dalam masyarakat. Gender dibentuk dan berkembang seiring dengan
budaya masyarakat. Gender bukan bawaan sejak lahir.
Tiap-tiap
masyarakat memiliki perkembangan budayanya sendiri, demikian pula dalam
perkembangan budaya bangsa Indonesia. Pemahaman gender di Indonesia tentulah
akan sejalan dengan perkembangan budaya bangsa Indonesia. Oleh karena itu,
pemahaman dan kesadaran gender bersifat dinamis dan dapat berbeda antara
masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain.
Kesadaran
gender bararti meletakan kedudukan, fungsi, dan peran antara laki-laki dan
perempuan dalam masyarakat secara sejajar. Misalnya dalam keluarga, maka setiap
anggota keluarga bertanggung jawab atas kebersihan dan kerapian rumah tempat
tinggalnya. Anak laki-laki atau anak perempuan, keduanya bisa menjaga
kebersihan dan kerapian rumah tempat tinggalnya. Di sekolah, laki-laki atau
perempuan sama-sama dapat menjadi guru. Dalam masyarakat, baik laki-laki maupun
perempuan dapat mengambil peran yang berguna bagi sesama manusia lainnya.
0 Response to "PPKN-KEMERDEKAAN BERAGAMA DAN BERKEPERCAYAAN DI INDONESIA-PERTEMUAN 7"
Posting Komentar